September 01, 2007

Difabel Pekanbaru Butuhkan Peningkatan Kapasitas

Penelitian Partisipatif terhadap Jenis, Sebaran dan Persepsi tentang Peningkatan Kapasitas Difabel di Kotamadya Pekanbaru, Provinsi Riau
(Cuplikan)


Penelitian ini berlangsung dalam bulan Januari hingga Pebruari 2007 dengan dilakukan oleh 12 orang peneliti yang merupakan gabungan antara penderita difabel dan non–difabel. Penelitian berhasil mengidentifikasikan keberadaan para penyandang difabel di Kotamadya Pekanbaru berjumlah 399 orang dengan klasifikasi tuna daksa (169 orang), tuna grahita (77 orang), tuna netra (72 orang), tuna rungu wicara (71 orang), tuna daksa/grahita (4 orang), tuna daksa/rungu wicara (2 orang), tuna rungu wicara/grahita, tuna rungu, tuna netra/grahita, tuna wicara (masing-masing 1 orang).

Dari 399 orang penyandang difabel yang diteliti dapat dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin adalah sebanyak 260 orang laki-laki (65%) dan 139 orang perempuan (35%). Klasifikasi usia difabel terbanyak berada dalam kisaran waktu produktif yaitu usia 19-40 tahun (176 orang; sebesar 45%). Sedangkan kisaran usia terendah terletak pada umur 60 tahun ke atas sebanyak 13 orang sebesar 3%.

Ditinjau dari status pernikahan, sebagian besar penyandang difabel di Kotamadya Pekanbaru berstatus belum menikah (sebanyak 245 orang; 64%). Selanjutnya berstatus sudah menikah (sebanyak 141 orang; 36%), dan terkecil adalah duda dan janda sebanyak masing-masing satu orang. Sebagian besar para difabel telah berada di Kotamadya Pekanbaru dalam kisaran 1-10 tahun (sebanyak 105 orang sebesar 45%). Sedangkan masa domisi yang paling lama adalah pada kisaran waktu 41-59 tahun (sebesar 5%). Penelitian ini hanya memfokuskan pada para penyandang difabel yang tinggal dan hidup di Pekanbaru.

Sebagian besar penyandang difabel yang berdimisi di Kotamadya Pekanbaru tidak bersekolah. Kategori yang tidak bersekolah ini terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok difabel yang belum masuk usia sekolah (sebanyak 22 orang) dan difabel yang telah sampai usia sekolah namun tidak bersekolah (192 orang). Beberapa penyebab tidak bersekolahnya para difabel ini adalah tidak punya biaya, malu bersekolah di sekolah umum, merasa kesulitan dengan sarana yang ada di sekolah.

Potensi lain yang perlu diperhatikan adalah keberadaan para difabel yang telah mencapai jenjang pendidikan perguruan tinggi, baik yang telah tamat (9 orang) dan yang tidak tamat (2 orang), serta difabel yang telah mencapai pendidikan menengah: tamat SMA (33 orang), tidak tamat SMA (5 orang), tamat SMP (26 orang) tidak tamat SMP (6 orang).

Jenis-jenis pendidikan non-formal yang pernah diterima para difabel adalah kursus/pelatihan dalam bidang elektronika, komputer, kursus catur, memasak, ketrampilan membuat alas kaki, memijat, menjahit, paduan suara, perbengkelan, sablon, pembuatan cenderamata, peternakan, dan Pertanian. Pendidikan non-formal ini diperoleh para difabel melalui koordinasi yang dilakukan oleh Dinas Sosial yang bekerjasama dengan berbagai pihak seperti perguruan tinggi, industri, lembaga pendidikan, dan perusahaan. Pendidikan non-formal ini berlangsung di Kota Pekanbaru, Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan. Beberapa dari difabel yang telah dilatih berhasil mendapatkan pengakuan melalui prestasi mereka, di antaranya adalah menjadi instruktur pelatihan memijat dan menjahit.

Pendidikan non-formal yang terima difabel sudah cukup sesuai dengan alasan oleh pelatihan, kursus dan magang yang diterima sesuai dengan kemampuan dan dapat dipergunakan sebagai sumber pendapatan/hidup sehingga dapat membiaya keluarga. Pendidikan non-formal yang terima difabel dinyatakan tidak sesuai terkait dengan kendala di lapangan dalam penerapannya dan perbedaan hobi dengan pelatihan yang diikuti, serta alasan spesifik, mencakup materi hanya diberikan secara garis besarnya saja, materi yang tidak lengkap, instruktur yang jarang masuk, pelatihan yang hanya bersifat teori saja sedangkan yang diharapkan sekaligus praktek, dan waktu terlalu singkat, serta waktu pelatihan dipersingkat.

Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa sebagian besar difabel (324 orang) menyatakan tidak ikut dalam organisasi apapun kerena tidak mengetahui di mana tempat organisasi yang sesuai dengan difabel. Jenis pekerjaan terbesar yang disandang para difabel yang ada di Kotamadya Pekanbaru adalah tukang pijat (sebanyak 33 orang) dan pedagang/sektor usaha jasa lainnya secara keseluruhan berjumlah 33 orang.

Modal usaha pekerjaan difabel sebagian besar berasal dari modal sendiri. Sumber permodalan lainnya berasal dari bantuan modal orang lain, bantuan dari keluarga, dan bantuan Depsos. Sebanyak 12 orang (sekitar 21%) yang menyatakan bahwa terdapat perhatian dari pemerintah/instansi terkait fungsi dan peran mereka terhadap difabel, sedangkan khusus untuk perusahaan hanya satu orang yang menyatakan adanya peran perusahaan terhadap mereka.

Fasilitas umum yang dipetakan dalam penelitian ini adalah Pasar, Angkutan umum, antor pos, Bank, Mal, Kantor pemerintah, Tempat ibadah, Pemakaman, Rumah sakit, Trotoar, Jembatan penyeberangan, Halte bis, Terminal, Bandara. Belum ada fasilitas umum yang menyediakan sarana khusus bagi difabel. Fasilitas non-fisik yang disorot oleh para difabel yang ada di Kotamadya Pekanbaru adalah fasilitas dalam bidang pendidikan, kesempatan kerja, layanan kesehatan dan bantuan sosial. Khusus untuk bidang layanan fasilitas dan informasi terkait bidang pendidikan, hanya SLB yang dirasa cukup memberikan kesempatan bagi difabel untuk mengakses layanan pendidikan.

Layanan kesempatan kerja, kesehatan dan bantuan sosial masih minim tersedia dan dikhususkan bagi para difabel. Layanan bantuan sosial yang pernah diterima para difabel adalah berasal dari SLB, BPOC, BK3S. Ragam bantuan yang diterima berbentuk beras, beasiswa pendidikan, asuransi kesehatan, dan modal/uang tunai. Sedangkan terkait layanan berupa alat Bantu (sesuai dengan difabilitasnya; kursi roda, alat bantu dengar, tongkat, protese) diperoleh oleh sebagian difabel.

Rekomendasi

  1. Informasi keberadaan para penyandang difabel di Kotamadya Pekanbaru dengan klasifikasi di atas merupakan informasi penting yang bisa dipakai sebagai rujukan pengembangan difabel oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
  2. Data kisaran usia dan status pernikahan penyandang difabel di Kotamadya Pekanbaru merupakan sebuah potensi untuk dikembangkan ke depan. Faktor-faktor pendidikan, peluang kerja dan aspek layanan lainnya merupakan hal-hal yang perlu dipikirkan oleh pihak-pihak yang terkait dengan difabel.
  3. Penelitian yang lebih mendalam untuk bisa memetakan penyebab dan solusi dari permasalahan peningkatan kapasitas mutlak diperlukan sehingga pada masa-masa ke depan upaya peningkatan kapasitas para difabel di Kotamadya Pekanbaru.
  4. Potensi lain yang perlu diperhatikan adalah keberadaan para difabel yang telah mencapai jenjang pendidikan perguruan tinggidan pendidikan menengah.
  5. Kebutuhan jenis pelatihan ke depan mencakup ragam keterampilan yang disesuaikan dengan bakat dan kemampuan yang didasarkan pada hobi, minat, kebutuhan konsumen, kemampuan yang telah ada, usaha yang telah dirintis. Diperlukan proses seleksi yang cukup detil bagi penyelenggara pelatihan, kursus dan magang sehingga dihasilkan jenis pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan para difabel.
  6. Perlu dicari dan diupayakan agar perhatian para pihak menjadi meningkat dan memenuhi kebutuhan para difabel sesuai dengan kebutuhan para difabel yang telah berhasil dipetakan, yaitu peningkatan kapasitas, peningkatan modal dan lapangan pekerjaan, beasiswa.
  7. Ketersediaan fasilitas umum yang mewadahi kebutuhan difabel merupakan kewajiban pemerintah dan juga merupakan hak bagi difabel.
  8. Kebutuhan para difabel yang mencakup kebutuhan fisik dan non-fisik sudah selayaknya disediakan di lembaga pendidikan umum sehingga dapat memberikan banyak pilihan bagi para difabel.

Selengkapnya: Laporan Penelitian.pdf

No comments: