April 26, 2007

Klipping Berita - Kapan Kita Ramah terhadap Kaum Difabel?

Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/022006/09/1001.htm

Kamis, 09 Februari 2006
Kapan Kita Ramah terhadap Kaum Difabel?

SETIAP orang sebetulnya bebas keluar-masuk hotel di mana pun. Tapi saat datang ke hotel, Sapto Nugroho (35 tahun), sering disamperi bagian keamanan. Ia ditanyai maksud kedatangannya, disertai ekspresi curiga.

JUMONO, ketua Forpadi (Forum Perjuangan Difabel) Jabar, tetap aktif berkegiatan walau harus bepergian dengan kursi rodanya di antara lalu lalang kendaraan.*HARRY SURJANA/"PR"

"Kalau datang ke hotel, saya mau menginap semalam, seminggu, atau sebulan, itu terserah saya. Atau saya menyewa bar untuk berpesta dengan teman-teman, atau menyewa kolam renang untuk berlomba renang sendirian, itu urusan saya. Semua tergantung saya jika saya mampu membayarnya," kata Sapto, saat berbicara dalam national workshop disability awareness for journalist, di Yogyakarta, Januari lalu.

Sapto adalah seorang penyandang cacat, tunadaksa, dua kakinya mengecil sejak bayi akibat digerogoti virus polio. Meski demikian, ia tegar dan tetap bekerja keras. Dengan bantuan kruk (tongkat dengan penyangga di bagian ketiak), Sapto mampu melakukan berbagai aktivitas yang diinginkannya dengan baik. Bahkan, ia kini menjadi Direktur Yayasan Talenta Solo, yang bergerak dalam bidang advokasi kebijakan untuk kaum difabel, sebutan mutakhir bagi para penyandang cacat.

Cerita Sapto menggambarkan bahwa masyarakat sering kali memandang para penyandang cacat secara diskriminatif. Begitu melihat orang yang kakinya tidak utuh memasuki hotel, misalnya, bagian keamanan pun curiga. Orang tersebut dikira akan mengemis, atau melakukan tindakan yang dapat mempermalukan tamu hotel yang lain.

Sapto mengakui, banyak kaum difabel yang "menjual" kecacatannya dengan cara mengiba-iba kepada orang lain, sehingga tumbuh rasa belas kasihan di hati masyarakat. Belas kasihan (charity) inilah yang kemudian menyentuh masyarakat untuk mengulurkan tangan, untuk kemudian mereka mengeluarkan uang bantuan, meskipun sekadarnya.

Sikap sebagian kaum difabel yang "menjual" rasa belas kasihan tersebut, dapat disebabkan oleh sikap kaum difabel sendiri yang tidak mau berpikir keras mencari jalan alternatif lain. Namun demikian, cara yang ditempuh juga bisa disebabkan oleh keluarga atau lingkungannya yang mengondisikan kaum difabel sebagai kaum marginal. Bahkan sebagian orang yang mengaku "normal" mengeksploitasi kaum difabel untuk melakukan "transaksi belas kasihan" tersebut demi kepentingannya, dengan cara mengerahkan orang-orang cacat menjadi "pasukan" pengemis di ruas-ruas jalan.

Kondisi seperti ini, bagaimanapun, merupakan andil lebih besar dari kaum yang normal. Kalau saja masyarakat memberikan akses yang memadai bagi kaum difabel untuk bergerak dalam ruang publik, mereka akan lebih senang untuk menjalani kehidupan bermartabat, ketimbang menjual karitas.

Sayang, masyarakat belum ramah terhadap kaum difabel, baik secara konsep maupun dalam bentuk action membuatkan infrastruktur yang difabel friendly. Padahal, konsep demokratisasi telah diujicobakan dalam seluruh ranah kehidupan masyarakat. Salah satu pekerjaan rumah (PR) yang masih tersisa dan proses demokratisasi tersebut adalah masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam mengapresiasi masalah difabilitas (kecacatan). Masyarakat pada umumnya belum menempatkan kaum difabel pada posisi sosial yang adil dan setara. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat cenderung enggan menerima kaum difabel "apa adanya" dalam lingkungan sosial mereka.

Dalam kenyataannya, konsep demokrasi telah menjebak masyarakat pada sikap yang diskriminatif terhadap kaum difabel. Contohnya tampak pada keinginan kaum difabel yang menghendaki untuk mendapatkan aksesibilitas ruang publik, namun masih terhambat oleh kalkulasi demokrasi yang diyakini oleh pemerintah dan masyarakat, bahwa jumlah difabel yang sedikit (bukan mayoritas). Pemerintah merasa belum perlu membangun akses publik yang ramah kaum difabel karena dianggap tidak ekonomis, misalnya kalau setiap ruang publik harus dibuatkan ramp atau lift bagi pemakai kursi roda atau guiding block bagi tunanetra, sehingga mereka dapat kuliah atau bekerja di gedung bertingkat.

Kondisi tersebut tentunya memprihatinkan. Pasalnya, marginalisasi peran dan fungsi difabel di tengah iklim demokrasi hanya akan memproduksi satu bentuk kekerasan sosial baru di masyarakat. Kekerasan itu nyata telah terjadi, misalnya, seorang tunanetra ditolak mendaftar ujian calon pegawai negeri sipil karena panitia tidak menyediakan soal dalam huruf braille. Pemakai kursi roda, misalnya, ditolak mendaftar kuliah karena laboratorium kampus tersebut berada di lantai dua, sementara tidak ada ramp maupun lift. Dinas Tenaga Kerja pun menolak difabel untuk mengikuti kursus, karena menurut mereka tempat difabel adalah di Dinas Sosial. Dan, banyak lagi bentuk kekerasan yang lain.

Lebih parah lagi, kekerasan semacam itu sering kali dilakukan oleh masyarakat dan mengambil kebijakan tanpa disadari. Sementara itu, para aktivis pejuang hak difabel telah berupaya membendung laju diskriminasi itu. Tetapi harus diakui, perjuangan panjang mereka belum mampu mendobrak konstruksi sosial yang congkak, angkuh, dan sombong. Bertahun-tahun, para aktivis berteriak lantang menuntut kadilan dan persamaan hak bagi seluruh warga negara, tetapi tetap saja kaum difabel menjadi manusia second class.

Workshop tingkat nasional tanggal 21-22 Januari 2006 lalu yang diikuti insan pers dan para aktivis pejuang hak asasi kaum difabel dimaksudkan untuk mendobrak kebekuan tersebut. Oleh karena itu, di akhir workshop, mereka mengeluarkan rekomendasi yang berisi 10 butir pernyataan.

Kesepuluh butir pernyataan tersebut adalah (1) Pemerintah hendaknya memasukkan difabel budgeting dalam APBN/APBD untuk membangun infrastruktur bagi peran serta kaum difabel dalam ruang publik; (2) Pemerintah dan DPR perlu mengamandemen UU No. 4 Tahun 1997 dan peraturan-peraturan turunannya agar lebih mengakomodasi kepentingan difabel; (3) Pemerintah mestinya memberikan keterampilan kepada difabel sesuai dengan minat dan potensinya;

(4) Pemerintah hendaknya memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada difabel untuk dapat mengakses pendidikan sesuai dengan minat dan potensinya; (5) Pemerintah sudah saatnya memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada difabel untuk mendapatkan lapangan kerja sesuai pendidikan, keterampilan, kecakapan, dan minatnya; (6) Pemerintah juga harus melakukan penegakan hukum yang adil jika terjadi kekerasan maupun pelanggaran hak asasi difabel;

(7) Pemerintah tidak bisa tidak harus memberikan kemudahan bagi difabel untuk mengakses ruang publik, baik secara fisik maupun nonfisik; (8) Pemerintah perlu memperluas akses informasi dan komunikasi bagi difabel, termasuk informasi berbasis teknologi; (9) Pemerintah secara nasional mestinya mendeklarasikan dan mengimplementasikan gerakan nasional ramah difabel; (10) Menghapuskan pelabelan negatif (stereotype) terhadap difabel serta menerima difabel sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat.

Mengabaikan kaum difabel sepertinya sesuatu yang terjadi begitu saja, tanpa kita sadari. Jangankan kita yang hidup di zaman edan seperti sekarang. Rasulullah, Muhammad saw., pun nyaris tergelincir menghadapi kaum difabel ini. Rasulullah sempat memalingkan muka terhadap Umu Mahtum, seorang tunanetra, sebab saat itu beliau sedang menerima tamu penting, para pembesar Qurasih.

Namun pelecehan terhadap difabel ini tidak sempat terjadi, karena Allah segera menegur Rasulullah dengan sangat keras melalui ayat-ayat 1 s.d. 12 Surat Abasa. Allah justru mengingatkan Nabi untuk memperhatikan seorang difabel tersebut, sebab bisa jadi orang ini berniat baik untuk membersihkan dirinya. Sedangkan orang-orang kaya yang dilayani Nabi, bisa jadi, justru berniat jahat kepada Rasulullah.

Masyarakat Barat yang sekuler memang memberikan nama kepada kaum difabel dengan disable, tidak mampu. Namun dalam kenyataan hidup sehari-hari, ruang publik mereka sangat ramah terhadap para penyandang cacat. Terminal, stasiun, bandara, kampus, perkantoran, pasar, dan berbagai ruang publik yang lain telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang dapat diakses kaum difabel. Kini, bangsa Indonesia yang mengaku sebagai bangsa yang religius dan ramah, kapan memperlakukan kaum difabel ini setara dengan warga negara yang lain? (Wachu/"PR")***

No comments: