January 19, 2008

Peringatan Hari Internasional Penyandang Cacat (Hipenca) 2007




Difabel (Penyandang Cacat) merupakan kelompok masyarakat yang selama ini termarginalisasikan dan sering didiskriminasikan dalam kehidupan sosial dan politik. Mereka seringkali diabaikan dan tidak dianggap keberadaannya baik oleh keluarga, masyarakat bahkan negara. Banyak orang tua yang masih menyembunyikan anaknya yang difabel, perlakuan dari lingkungan dan masyarakat yang sinis, melihat difabel sebagai makhluk lemah dan hanya merupakan beban bagi keluarga dan masyarakat. Masih kurangnya perhatian pemerintah/negara terhadap difabel membuat kondisinya semakin terpuruk dan terpinggirkan. Walaupun saat ini pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan terkait dengan kehidupan dan keberadaan difabel, akan tetapi pelaksanaannya masih jauh dari apa yang diharapkan. Hal ini disebabkan masih adanya pemahaman yang berbeda terhadap difabel oleh berbagai stake holder, sehingga implementasi dari berbagai kebijakan tersebut selalu tidak menyentuh sisi penting kehidupan difabel.

Perkumpulan Kesejahteraan Penyandang Cacat (PKPC) bersama beberapa organisasi difabel yang ada di Pekanbaru Seperti : Spesial Olympic Indonesi (SOIna) Riau, Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) daerah Riau, Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) daerah Riau dan Ikatan Tuna Netra Riau (ITNR) merupakan lembaga yang keberadaannya diharapkan dapat berperan aktif dalam memperjuangkan keadilan dan kesetaraan hak bagi difabel sebagai warga negara melihat pentingnya persamaan dan kesamaan cara pandang terhadap keberadaan dan pemberdayaan difabel serta menghapus berbagai pandangan dan penilaian buruk terhadap difabel. Hal ini dapat dilakukan dengan mensosialisasikan keberadaan difabel melalui berbagai cara seperti dengan lebih memberikan kesempatan dan ruang gerak bagi para difabel di berbagai bidang aspek kehidupan. Sehubungan dengan permasalahan tersebut PKPC dan organisasi difabel lainnya bersempena dengan peringatan Hari Internasional Penyandang Cacat melaksanakan kegiatan berupa Aksi Damai/Simpatik dan seminar dengan tema : ”Penghapusan Stigma dan Diskriminasi Terhadap Difabel”.

A. A ksi Damai/Aksi Simpatik

Aksi damai/simpatik dilaksanakan pada tanggal 3 Desember 2007 bertepatan dengan Hari Internasional Penyandang Cacat bertempat di Bundaran depan Kantor Walikota Pekanbaru. Kegiatan ini diikuti oleh beberapa organisasi difabel (penyandang cacat) yang ada di Kota Pekanbaru. Tujuan dari aksi ini adalah tersosialisasikannya Hari Internasional Penyandang Cacat dan diharapkan akan lebih membuka mata dan hati masyarakat Pekanbaru umumnya dan Pemerintah Daerah khususnya bahwa di Pekanbaru terhadap kelompok difabel dengan melihat langsung aksi yang dilakukan oleh difabel tersebut.
Kegiatan ini juga merupakan yang pertama kali dilakukan oleh difabel di Provinsi Riau terutama di kota Pekanbaru. Ini menunjukkan bahwa keberadaan difabel di kota ini sudah seharusnya mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah. Ini juga merupakan sebuah sikap dan tindakan yang dilakukan agar eksistensi dan keberadaan difabel juga diakui serta diakomodir melalui program pembangunan yang menyeluruh bagi masyarkat di daerah ini.
Para difabel yang turun dalam aksi damai ini berasal dari berbagai katagori seperti tuna daksa, tuna netra dan tuna rungu wicara. Mereka menyuarakan kondisinya dengan menyebarkan stiker, bendera-bendera kecil yang berisi pesan-pesan advokatif dan membentangkan spanduk. Pada dasarnya pesan-pesan yang disampaikan adalah himbauan kepada semua pihak untuk menghentikan diskriminasi dan menghapus stigma yang selama ini menjadi streotype yang dilekatkan pada diri difabel.
Aksi damai ini sendiri berlangsung dari pukul 09.00 sampai dengan 11.00 WIB dengan cukup tertib dan mendapatkan pengawalan dari petugas keamanan lalu lintas dan mendapat perhatian dari masyarakat dan media massa yang ada di Pekanbaru.

B. Seminar ”Penghapusan Stigma dan Diskriminasi Terhadap Difabe
l"

Seminar ini dilaksanakan pada hari Selasa 18 Desember 2007 bertempat di Hotel DELTA Jl. Sisingamangaraja No. 23 Pekanbaru yang di buka pada pukul 10.00 dan ditutup pada pukul 13.30 Wib.
Dari 100 orang peserta yang telah diundang, yang datang menghadiri seminar ini berjumlah 54 orang yang merupakan perwakilan dari organisasi difabel sebanyak 25 orang, LSM : 4 orang, dinas/instansi pemerintah : 3 orang, media cetak dan elektronik : 7 orang, organisasi sosial : 1 orang, Sekolah luar Biasa : 6 orang dan mahasiswa : 3 orang.
Hal yang sangat mengecewakan adalah kurangnya kepedulian dari Pemerintah khususnya dinas dan instansi terkait terhadap kegiatan yang dilakukan oleh difabel (penyandang cacat), hal ini dapat dilihat dari 11 Dinas dan Instansi yang diundang, hanya 3 orang yang datang yaitu dari KIMPRASWIL Riau, BKS Riau dan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Pekanbaru. Sementara itu tidak ada satupun perwakilan dari perusahaan yang hadir dari 6 perusahaan besar yang ada di Riau. Dari 4 orang DPRD Kota Pekanbaru dan DPRD Riau yang diundang juga tidak seorangpun yang hadir. Demikian juga dengan perguruan tinggi yang ada di kota ini tidak ada seorangpun yang menghadiri seminar ini.
Kondisi ini menggambarkan kurangnya perhatian dan kepedulian berbagai pihak terhadap keberadaan dan kondisi difabel didaerah ini. Padahal sudah menjadi tangung jawab semua stake holder dalam meningkatkan kesejahteraan dan melakukan pemberdayaan terhadap difabel karena mereka adalah warga negara yang keberadaannya dilindungi oleh undang-undang.
Seminar ”Penghapusan Stigma dan Diskriminasi Terhadap Difabel” dimulai pada pukul 10.00 Wib. Acara yang seharusnya dibuka pada pukul 09.00 wib tertunda lebih kurang 1 jam. Ini disebabkan karena masih sedikitnya peserta yang hadir, sementara Wakil Gubernur yang diagendakan membuka acara juga tidak dapat hadir karena masih menjalankan tugas di Jakarta. Seminar akhirnya dibuka secara resmi oleh Ketua PKPC (Syurflayman). Selanjutnya diselingi dengan coffe break selama 15 menit.
Seminar ini di moderatori oleh Amniati (PKPC), pada Sesi I menampilkan 2 (dua) orang narasumber yaitu : MUJIANA dari Dinas KIMPRASWIL Riau (Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah) yang menyajikan materi ”Pembangunan dan Lingkungan yang Aksesibel Bagi Semua” Persyaratan Tekhnis Aksesibelitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan” (materi terlampir). Dalam paparannya narasumber menyampaikan bahwa aksesibel bagi semua harus memiliki tingkat kemudahan untuk dapat : menuju, mencapai, memasuki dan menggunakan semua fasilitas umum yang ada. Aksesibilitas yang dimaksud juga harus mengandung azas : 1) Kemudahan, dimana semua orang dapat mencapai semua tempat, 2) Kegunaan, semua orang dapat menggunakan semua tempat, 3) Keselamatan, semua bangunan harus memperhatikan keselamatan semua orang, 4) Kemandirian, semua orang harus dapat mencapai, masuk, mempergunakan semua tempat tanpa bantuan orang lain. Untuk memenuhi semua unsur bagi difabel (penyandang cacat) telah diatur mengenai ukuran dasar ruang, baik bagi pengguna tongkat, kursi roda, dan simbol-simbol/jalur pemandu sesuai dengan jenis kecacatan yang ada. Aturan ini telah tertuang didalam beberapa peraturan, yaitu :
  • Kepmen PU No.441/KPTS/1998, tentang Persyaratan Teknis Bangunan Gedung.
  • Kepmen PU No.468/KPTS/1998, tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan.
  • Kepmenhub RI No. KM 71/1999, tentang Aksesibilitas bagi Penca dan Orang Sakit pada Sarana dan Prasarana Perhubungan.
Fakta yang ada dalam pembangunan di daerah Propinsi Riau, masih terdapat berbagai kendala untuk menerapkan aturan ini terutama :
  • PENGATURAN, belum menjadi rujukan Pemda. Pengawasan terhadap pelaksanaan dan penerapan sanksi masih sangat lemah.
  • PELAKU: para pelaku belum mengetahui keberadaan kepmen ini, atau tergugah untuk melaksanakannya.
  • SOSIALISASI: sosialisasi dan informasi masih kurang.
  • FISIK: kondisi fisik di lapangan tidak segera menyesuaikan dengan Kepmen yang ada tersebut..
Setelah pemaparan singkat oleh Bapak Mujiana (Dinas KIMPRASWIL), narasumber kedua Syurflayman (Ketua PKPC) menyampaikan informasi tentang ”Potret Difabel di Kota Pekanbaru”. Paparan yang disampaikan merupakan kondisi terkini difabel di Kota Pekanbaru berdasarkan pendataan dan penelitian yang dilakukan secara partisipatif oleh PKPC pada awal tahun 2007.
Pada Kesempatan ini, Syurflayman sebagai ketua PKPC menyampaikan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh PKPC dengan judul makalah : ”Potret Difabel Kota Pekanbaru”. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh PKPC pada bulan Januari – Februari 2007 dengan metode Penelitian Partisipatif berhasil didata 399 orang difabel di Kota Pekanbaru yang bila dilihat dari segi usia terdapat 45 % pada usia produktif (19 – 40 tahun). Dari segi pendidikan terdapat 2 kelompok yaitu kelompok difabel yang belum masuk usia sekolah sebanyak 22 orang sedangkan yang berada pada usia sekolah namun tidak bersekolah terdapat sebanyak 192 orang. Sedangkan difabel yang menamat perguruan tinggi berjumlah 9 (sembilan) orang dan 2 (dua) orang tidak tamat. Untuk tingkat pendidikan menengah atas, tamat SMA 33 orang tidak tamat SMA 5 orang; tamat SMP 26 orang dan tidak tamat SMP 6 orang; tamat SD 45 orang, tidak tamat SD 54 orang. Rendahnya tingkat pendidikan dari difabel ini disebabkan karena sebahagian besar keluarga difabel berasal dari keluarga miskin atau kurang mampu. Disamping itu juga disebabkan minimnya aksesibelitas dibidang pendidikan bagi difabel. Saat ini difabel kebanyakan mendapatkan pendidikan hanya melalui SLB, sangat sedikit sekali difabel yang bisa mengikuti pendidikan disekolah umum biasa.
Terkait dengan pekerjaan yang ditekuni atau mata pencaharian, terdapat 25% (33 orang) yang bekerja sebagai tukang pijat, 18 % (24 orang) pedagang kecil, 16% (21 orang) peminta-minta, 6% (8 orang) buruh; 5% (6 orang) pekerja bengkel; tukang parkir, tukang cuci, penjahit dan PNS masing-masing 3% (4 orang), yang lainnya sebagai tukang bangunan, pemilik reklame, tukang sol sepatu, rental komputer, nelayan, guru, dan lain-lain. Boleh dikatakan bahwa sebahagian besar difabel adalah bekerja disektor informal dan usaha mandiri dengan modal yang relatif kecil. Ini menggambarkan bahwa akses difabel terhadap jenis pekerjaan formal dan modal masih sangat terbatas.
Sisi lain yang berhasil diungkap dari penelitian ini adalah kurangnya aksesibilitas layanan publik bagi difabel. Berbagai fasilitas publik yang ada tidak akses bagi difabel sehingga membuat terbatasnya ruang gerak bagi difabel. Hal ini dapat dilihat pada bangunan gedung-gedung pemerintahan, sekolah, kantor pos, mesjid, pasar-pasar, jalan, jembatan penyeberangan, angkutan umum, rumah sakit dan lain-lain yang merupakan pusat-pusat layanan publik.
Setelah pemaparan kedua narasumber moderator membuka sesi diskusi dengan memberikan kesempatan kepada peserta seminar untuk bertanya kepada narasumber berhubungan dengan materi yang disampaikan. Salah seorang peserta dari PERTUNI (Ida) mempertanyakan kondisi fasilitas umum yang tidak akses bagi tuna netra. Beliau menyampaikan harusnya fasilitas umum yang dibangun harus memenuhi standar yang telah ditetapkan. Walaupun dibeberapa tempat bisa diakses (dipaksakan untuk bisa diakses tanpa jaminan keamanan dan keselamatan) oleh jenis cacat tertentu, namun bagi tuna netra sama sekali tidak ada fasilitas umum dan lingkungan yang dapat mereka akses. Hal yang paling vital terkait dengan mobilitas tunanetra adalah masalah jalan dan jalur yang tidak aman bagi tuna netra juga masalah transportasi angkutan umum yang tidak ramah bagi tuna netra. Para pengguna jalan yang tidak peduli dengan keberadaan tuna netra dijalan raya dan tidak mengutamakan pengguna jalan dari tuna netra. Beberapa fasiltas umum yang merupakan kebutuhan dasar juga dikeluhkan tidak akses bagi tuna netra terutama pendidikan diluar pendidikan luar biasa serta tempat ibadah yang tidak ada petunjuk arah kiblat yang memudahkan tuna netra untuk beribadah di tempat ibadah sehingga seringkali salah arah.
Dari pertanyaan yang diajukan ini narasumber (KIMPRASWIL) membenarkan bahwa memang tidak ada fasilitas umum di Kota Pekanbaru ini yang memiliki standar aksesibilitas sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh perundang-undangan. Selain itu untuk Provinsi Riau terutama Kota Pekanbaru yang merupakan pusat pemerintahan Provinsi belum ada PERDA yang mengatur aksesibilitas ini ditetapkan sehingga pelaksanaan undang-undang tersebut bisa dijalankan dengan maksimal dan ada sanksi bagi pelanggaran pemenuhan aksesibilitas pada bangunan dan lingkungan yang diperuntukkan bagi masyarakat umum.
Bapak Mujiana (KIMPRASWIL) juga menjelaskan bahwa sudah seharusnya di setiap fasilitas umum yang dibangun memiliki aksesibilitas, rambu yang bersifat verbal harus standar, tanda yang dapat diraba dan disentuh mencantumkan huruf timbul. Di Kota Pekanbaru sendiri belum ada, misalnya halte bis, toilet untuk kursi roda yang standar, belum ada huruf timbul yang dapat diraba dan dirsentuh oleh tuna netra. Memang belum sampai kesana. Walaupun aturannya sudah ada tapi implementasi masih belum ada dan tidak menjadi perhatian.
Peserta juga mempertanyakan gedung megah yang sedang dibangun terutama gedung 9 (sembilan) lantai dan gedung perpustakaan. Menurut beliau dan sepengetahuannya memang belum ada aksesibilitas yang dibangun sesuai dengan standar yang telah ditetapkan pada kedua gedung tersebut.
Sesi II menampilkan 2 orang narasumber lagi, yaitu Ibu Yenita Rizal yang merupakan salah seorang pengawas ketenagakerjaan pada DISNAKER Provinsi Riau yang menyampaikan makalah dengan judul ”Peran dan Kontrol Disnaker Dalam Mewujudkan Quota 1% Tenaga Kerja Difabel (Penyandang Cacat). Yenita Rizal merupakan salah seorang petugas pengawas yang berada dibagian Subdin Pengawasan Ketenagakerjaan pada Dinas Tenaga Kerja Provinsi Riau. Di dalam pemaparannya nara sumber menyatakan bahwa tujuan dari pengawasan ketenagakerjaan adalah agar pelaksanaan dan fungsi pengawasan norma ketenagakerjaan dapat berjalan efektif dan optimal diperlukan pengawasan ketenagakerjaan secara mandiri (independent), tidak memihak (fair treatment), Profesional dan seragam (equal implementation) sehingga perlindungan terhadap hak-hak dasar tenaga kerja dapat terpenuhi. Sementara itu sasaran dari pengawasan adalah :
  • Terlaksananya pengawasan norma ketenagakerjaan yang bersifat komprehensif, tuntas dan terkendali
  • Berkurangnya pelanggaran norma ketenagakerjaan
  • Terlindunginya resiko-resiko sosial tenaga kerja
  • Terciptanya/terwujudnya kebijakan norma kerja, norma hubungan kerja, norma penempatan dan pelatihan serta norma jaminan sosial tenaga kerja
Objek pengawasannya adalah :
  1. Pengawasan Norma Hubungan Ketenagkerjaan:
    1. Norma PHK
    1. Norma Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Waktu Tidak tertentu.
    1. Norma Peraturan Perusahaan dan KKB
    1. Norma kebebasan berserikat
    1. Norma Pemborongan Pekerjaan
  2. Pengawasan Norma Jaminan Sosial Tenaga Kerja :
    1. Norma Kecelakaan Kerja
    1. Norma Penyakit Akibat Kerja
  3. Pengawasan Norma Kerja :
    1. Norma waktu Kerja dan Waktu Istirahat (cuti haid, cuti melahirkan, istirahat panjang)
    1. Norma Pengupahan.
  4. Pengawasan Norma Penempatan dan Pelatihan :
    1. Norma TKA
    1. Norma TKI
    1. Norma AKAD
    1. Norma Pelatihan
    1. Norma Pekerja Penyandang Cacat
Pada paparannya narasumber juga banyak menyampaikan undang-undang tentang ketenagakerjaan dan yang terkait dengan difabel yaitu : UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan terutama pasal 5 dan pasal 6 yang terkait dengan tidak adanya diskriminasi terhadap tenaga kerja baik mendapatkan kesempatan maupun dalam hal perlakukan sebagai tenaga kerja. Khusus mengenai tenaga kerja difabel telah dijelaskan pada pasal 67 dinyatakan bahwa pengusaha yg mempekerjakan TK Penyandang cacat (difabel) wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis & derajat kecacatan (sesuai per UUan yg berlaku). Ini terkait dengan penyediaan aksesbilitas, pemberian alat kerja, dan alat pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis & derajat kecacatannya. Pasal 187 bahkan dengan jelas telah dinyatakan adanya sanksi pidana kurungan minimal 1 bulan & maksimal 12 bulan dan/atau denda minimal Rp.10 juta dan maksimal Rp.100 juta terhadap pengusaha yang melanggar aturan tersebut.
Sementara itu di dalam UU No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat pada pasal 10 dinyatakan kesamaan kesempatan dilaksanakan dengan penyediaan aksesibelitas. Pasal 13 bahkan menyatakan setiap difabel (penyandang cacat) mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis & derajat kecacatannya hal ini dipertegas dalam UU No.13 Tahun 2003 pasal 5 dan pasal 6 yang sudah dijelaskan sebelumnya. Pada pasal 14 dikatakan bahwa perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan peralakuan yang sama pada difabel dengan mempekerjakan difabel di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya, pendidikan dan kemampuannya yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan. Penjelasan dari pasal ini adalah :
  • BUMN, BUMD, Perusahaan swasta & koperasi
  • Minimal orang yg memenuhi persyaratan & kualifikasi pekerjaan untuk setiap 100 karyawan
  • Tekhnologi tinggi, minimal 1 orang walaupun <>
  • Diatur lebih lanjut dengan Peraturan Perundang-undangan.
Dan didalam pasal 28 ditegaskan bahwa pelanggaran terhadap aturan seperti yang tercantum pada pasal 14 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan / atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 200 juta.
Selanjutnya berdasarkan Kepmenaker No. 205 Tahun 1999 tentang pelatihan tenaga kerja difabel (penyandang cacat) pada
  • Pasal 3 :

1. Pengusaha wajib memberi kesempatan kerja bagi Tenaga Kerja penyandang cacat (difabel).

2. Pengusaha yang akan mempekerjakan Tenaga Kerja penyandang cacat harus berdasarkan hasil analisa kualifikasi Tenaga Kerja Penyandang cacat.

  • Pasal 4 :

1. Untuk setiap 100 orang pekerja, maka perusahaan wajib mempekerjakan minimal 1 org Tenaga Kerja Penyandang cacat sesuai dengan persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan

2. Pengusaha yang menggunakan tekhnologi tinggi & mempekerjakan Tenaga Kerja <100>

Di dalam pengawasan yang selama ini dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja Provinsi Riau melalui Subdin Pengawas Ketenagakerjaan masih banyak perusahaan di Riau yang belum mempekerjakan tenaga kerja difabel sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang ada. Kalaupun ada tenaga kerja yang cacat (difabel), itupun akibat kecelakaan kerja yang terjadi pada pekerja ketika bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Artinya masih besar peluang bagi difabel untuk bekerja diperusahaan pemerintah maupun swasta sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan. Untuk itu perlu bagi pencari kerja difabel untuk mendaftarkan diri pada dinas tenaga kerja setempat. Bagi tenaga kerja difabel yang bekerja pada perusahaan atau di manapun bila mengalami diskriminasi dan permasalahan di tempat kerja diharapkan dapat melapor dan menginformasikannya ke dinas tenaga kerja setempat.
Narasumber kedua pada sesi II ini adalah Bapak Hasanudin (Badan Kesejahteraan Sosial Riau) dengan judul makalah ”Peran BKS dalam Meningkatkan Kualitas Sumberdaya Difabel (penyandang cacat)”. Narasumber menyampaikan bahwa peran BKS dalam pemberdayaan difabel tugasnya adalah melakukan pemberdayaan bagi difabel dengan dua pola yaitu di dalam panti dan di luar panti. Di Provinsi Riau banyak pemberdayaan yang dilakukan di luar panti dengan harapan organisasi difabel yang ada berperan aktif dalam upaya pemberdayaan difabel. Selain itu organisasi difabel yang ada juga tidak lagi bekerja sendiri-sendiri tapi harus bersatu dan saling berkoordinasi dan tidak terpecah-pecah. Dengan demikian pemerintah melalui instansi terkait dapat membantu pemberdayaan difabel melalui organisasi yang ada. Saat ini BKS telah membantu organisasi difabel yang ada sebanyak 5 organisasi untuk tahun 2007.
Sementara itu terkait dengan aksesibilitas yang tadi banyak diungkapkan oleh peserta, BKS memang tidak menyiapkan bantuan untuk hal tersebut.
Apresiasi yang tinggi juga diberikan kepada organisasi difabel seperti PKPC yang telah melakukan pendataan sehingga data yang ada ini bisa digunakan sebagai dasar dalam memperbaiki dan merancang program untuk memperbaiki kondisi difabel di daerah ini. Karena untuk data difabel by name dan by address BKS sendiri juga belum mampu melakukannya.
Setelah pemaparan kedua narasumber pada sesi ini, pada sesi diskusi para peserta seminar lebih banyak mempertanyakan permasalahan diskriminasi terhadap mereka di dunia kerja. Salah seorang peserta menyampaikan bagaimana pengalamannya yang pernah bekerja di salah satu perusahaan swasta yang kemudian di PHK dengan alasan yang tidak jelas. Dan ketika ini disampaikannya masalah yang dia alami sudah cukup lama terjadi yaitu beberapa tahun yang lalu sehingga Ibu Yenita dari Disnaker mengatakan sulit untuk menyelesaikannya. Beliau menyampaikan ini bisa menjadi sebuah pelajaran bagi tenaga kerja difabel kedepannya. Dan jika mengalami masalah ketenagakerjaan diwaktu yang akan datang dihimbau untuk segera melaporkan masalah yang dialami ke Subdin Pengawasan Ketenagakerjaan Disnaker setempat, sehingga disnaker dapat membantu penyelesaian terhadap permasalahan yang dihadapi.
Peserta lainnya juga banyak menyoroti tidak adanya ruang dan kesempatan bagi tenaga kerja difabel untuk dapat bekerja diberbagai perusahaan yang ada di Riau. Alasannya selalu sama tidak ada pekerjaan yang cocok bagi difabel. Kalaupun ada tenaga kerja difabel yang bekerja pada perusahaan yang ada tetap saja kebutuhan dan aksesibelitas bagi tenaga kerja difabel belum mampu dipenuhi oleh perusahaan walaupun peraturan yang melindungi mereka sudah ada namun belum kelihatan upaya yang dilakukan oleh perusahaan untuk menjalankan peraturan tersebut. Menanggapi hal ini narasumber menyarankan agar difabel yang ingin mencari pekerjaan agar mendaftarkan diri di Disnaker setempat dan menjelaskan secara rinci keahlian yang dimiliki sehingga ketika ada lowongan pekerjaan dan diufabel yang bersangkutan memenuhi kualilfikasi yang telah ditetapkan maka tidak ada lagi alasan bagi perusahaan untuk menolak tenaga kerja difabel.
Kepada narasumber dari BKS (Hasanuddin) peserta lebih banyak mengharapkan dukungan dan bantuan kepada organisasi difabel sehingga organisasi difabel yang ada mampu mengembangkan dan memberdayakan anggotanya lebih maksimal.
  • Catatan penting dari diskusi seminar
Ada beberapa point-point penting yang berhasil dicatat dan harus segera ditindaklanjuti dari diskusi yang berkembang selama seminar, yaitu :
  • Sebuah langkah maju yang telah dicapai dengan keberhasilan organisasi difabel yang ada di Kota Pekanbaru melakukan kegiatan bersama yang membuktikan bahwa pentingnya kebersamaan dan kekompakan dalam memperjuangkan hak-hak difabel serta mengkampanyekan kebutuhan bersama bagi difabel disepakatinya arah perjuangan yang sama.
  • Harus dibangun kebersamaan dan kesatuan bagi seluruh organisasi difabel agar bisa menjadi sebuah kekuatan besar yang mampu memperjuangkan hak-hak difabel.
  • Perlu dilakukannya kampanye secara terus menerus agar seluruh fasilitas umum yang ada di Kota Pekanbaru memiliki aksesibilitas dan mengakomodir hak-hak dasar difabel.
  • Harus dilakukannya diskusi secara terus menerus dengan seluruh dinas dan instansi terkait di pemerintah kota dan propinsi agar mempunyai visi yang sama dalam menempatkan difabel sebagai warga negara yang mempunyai hak yang sama dan mendapat perlakuan yang sama tanpa ada diskriminasi.
  • Khusus dalam bidang ketenagakerjaan seluruh organisasi difabel diharapkan mulai melakukan pendataan kepada anggota masing-masing dan membuat daftar difabel yang membutuhkan pekerjaan lengkap dengan keahlian yang dimiliki.
  • Perlunya Peraturan Daerah (PERDA) yang melindungi hak-hak difabel sehingga aplikasi dari peraturan perundangan-undangan tentang perlindungan difabel dapat diterapkan di daerah ini.
  • Perlu di kebijakan dari pemerintah daerah untuk membuat sebuah kebijakan penetapan sebuah lembaga yang menjadi leading sektor pengelolaan dana pemberdayaan difabel.

No comments: